Minggu, 06 Juni 2010

MUI Vs Hukum Positif

MUI Vs Hukum Positif

Akhir-akhir ini Indonesia kembali dibuat gempar dengan munculnya wacana MUI terbitkan fatwa haram merokok bagi umat Islam. Wacana tersebut secara politis tentu memiliki implikasi yang luar biasa khususnya bagi mereka yang hidup dari kepulan asap rokok. Rokok merupakan salah satu industri srategis di Indonesia. Rokok juga memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi APBN negara kita melalui cukainya, selain itu saat ini puluhan juta orang menggantungkan hidupnya dari rokok seperti petani tembakau, cengkeh, buruh pabrik rokok dll.

Terlepas dari kontroversi terbitnya fatwa MUI yang mengahramkan rokok, diperlukan sebuah pemisahan konteks berpikir antara sebagai warga negara Indonesia dengan sebagai umat Islam.
Secara yuridis fatwa MUI tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia. UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dikenal jenis-jenis peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan mengatur bagi setiap warganya yaitu Undang-undang Dasar, Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Secara yuridis formil dapat dikatakan bahwa fatwa MUI bukanlah sebuah produk hukum negara sehingga tidak ada kewajiban bagi setiap warga negara untuk melaksanakan fatwa tersebut.

Indonesia bukanlah negara Islam, sehingga norma-norma yang ada dan berlaku di Indonesia adalah berdasarkan hukum negara (hukum positif), bukanlah hukum Islam.
Nasrudin, seorang mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Wali Songo Semarang mengatakan dalam blog pribadinya bahwa literatur hukum Islam (Fiqh, Syari’ah), dikanal beberapa terma yang berkaitan dengan proses pengambilan hukum, di antaranya adalah fatwa, qadha’, dan ijtihad. Ketiga terma ini, meski samasama berorientasi pada pemenuhan kebutuhan publik akan hukum, memiliki cara kerja, otoritas, dan kekuatan hukum yang berbeda. fatwa merupakan jawaban yang diberikan oleh juru fatwa (mufti) kepada orang yang mengajukan pertanyaan akan status hukum. Fatwa mengharuskan adanya proses istifta’ (pengajuan permohonan akan fatwa) oleh pemohon (mustafti) secara personal maupun badan hukum kepada mufti.

Masih menurut Nasrudin, berbeda dengan qadha’, fatwa tidak memiliki kekuatan mengikat. Artinya, fatwa boleh diikuti atau ditinggalkan, bahkan oleh si pemohon sendiri. Bila qadhi merupakan kepanjangan tangan negara untuk mengatur urusan yudikatif (di negara Islam), mufti lazimnya adalah seorang intelektual (ulama) independen, tidak berafiliasi dengan kekuatan mana pun, termasuk negara.

Fatwa, sebagaimana disampaikan Ibn Qayyim al-Jawzi, memiliki keterbatasan otoritas keberlakuan. ”Taghayyarul fatwa bihasabi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal wa al-niyyat.” (Fatwa bisa berkembang seiring perkembangan masa, perubahan letak geografis, peralihan kondisi, dan pergeseran niat).
Nasrudin menyebutkan bahwa dalam banyak kasus, beberapa rumusan fatwa MUI ternyata senantiasa terikat dengan faktor-faktor politis. Atha Mudzhar dalam disertasi doktornya, ”Fatwas of The Council of Indonesian ’Ulama’: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia, 1975-1988”, mencatat, dari 22 fatwa MUI, hanya 11 (50 persen) di antaranya yang boleh dikatakan netral. Selebihnya, 8 fatwa dinilai dipengaruhi oleh pemerintah. Hanya ada 3 fatwa yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah.

Dari sini, maka benar kata Louis Althusser, bahwa MUI (bersama organisasi senada: Walubi, PGI, KWI, PHDI, dlsb) telah memainkan fungsi ideological state. Salah satu ”kaki tangan” negara yang bermain di wilayah ideologis.
Dalam suatu kesempatan di salah satu stasiun TV swasta, seorang ulama wakil MUI mengatakan bahwa kepatuhan untuk tunduk pada fatwa adalah gambaran kualitas iman seseorang. Seorang muslim yang tidak tunduk pada fatwa ulama (MUI) maka dapat dikatakan bahwa dari konteks perihal fatwa sang muslim digolongkan tidak beriman, namun belum tentu dari konteks diluar fatwa. Sang ulama mengatakan bahwa fatwa merupakan salah satu produk hukum selain Al Quran & Hadist yang harus dijunjung tinggi penegakannya, namun secara hierarkis berada di bawah Al Quran dan Hadist. Keadaan ini memberikan sinyal bahwa umat Islam memiliki keterikatan (syariah) untuk mematuhi fatwa MUI tersebut.

Dari runtun penjelasan tersebut memang memiliki konsekwensi yang berbeda pula antara hukum negara (hukum positif) dan hukum Islam (syariah). Apabila Majelis Ulama Indonesia menerbitkan fatwa haram merokok, kita dihadapkan pada dua rezim hukum yaitu sebagai warga negara dan umat Islam (bagi yang beragama Islam). Sebagai warga negara sudah barang tentu kita bisa terbebas dari segala macam ancaman hukum, karena Indonesia tidak melarang rokok di peraturan perundang-undangannya. Namun sebagai umat Islam, kita terancam mendapatkan dosa karena tidak mematuhi fatwa haram ulama atas rokok tersebut, ataukah kita mempercayai bahwa dalam Islam fatwa juga sebenarnya tidak memiliki kekuatan mengikat.Wallahu`alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar